Bismillaahirrahmaanirrahiim..
Segala puji bagi Allah, Rabb
semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga,
para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga
akhir zaman.
Setelah sebelumnya kita mengkaji siapakah pria yang
mesti dijauhi dan tidak dijadikan idaman maupun idola, maka untuk
kesempatan kali ini kita spesial akan membahas wanita. Siapakah yang
pantas menjadi wanita idaman? Bagaimana kriterianya? Ini sangat perlu
sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, sehingga si pria tidak salah
dalam memilih. Begitu juga kriteria ini dimaksudkan agar si wanita bisa
selalu introspeksi diri. Semoga bermanfaat.
Kriteria Pertama: Memiliki Agama yang Bagus
Inilah
yang harus jadi kriteria pertama sebelum kriteria-kriteria lainnya.
Tentu saja wanita idaman memiliki aqidah yang bagus, bukan malah aqidah
yang salah jalan. Seorang wanita yang baik agamanya tentu saja tidak
suka membaca ramalan-ramalan bintang seperti zodiak dan shio. Karena ini
tentu saja menunjukkan rusaknya aqidah wanita tersebut. Membaca ramalan
bintang sama halnya dengan mendatangi tukang ramal. Bahkan ini lebih
parah dikarenakan tukang ramal sendiri yang datang ke rumahnya dan ia
bawa melalui majalah yang memuat berbagai ramalan bintang setiap pekan
atau setiap bulannya. Jika cuma sekedar membaca ramalan tersebut,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Barangsiapa
yang mendatangi tukang ramal, lalu ia bertanya mengenai sesuatu, maka
shalatnya tidak diterima selama 40 malam.”[1] Jika sampai membenarkan
ramalan tersebut, lebih parah lagi akibatnya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ
“Barangsiapa
mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkan apa yang mereka
katakan, maka ia telah kufur pada Al Qur’an yang diturunkan pada
Muhammad.”[2]
Begitu pula ia paham tentang hukum-hukum Islam yang berkenaan dengan dirinya dan juga untuk mengurus keluarga nantinya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan seorang pria untuk
memilih perempuan yang baik agamanya. Beliau bersabda,
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Perempuan
itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan
kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak,
niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi”.[3]
Perhatikanlah kisah berikut yang menunjukkan keberuntungan seseorang yang memilih wanita karena agamanya.
Yahya
bin Yahya an Naisaburi mengatakan bahwa beliau berada di dekat Sufyan
bin Uyainah ketika ada seorang yang menemui Ibnu Uyainah lantas berkata,
“Wahai Abu Muhammad, aku datang ke sini dengan tujuan mengadukan
fulanah -yaitu istrinya sendiri-. Aku adalah orang yang hina di
hadapannya”. Beberapa saat lamanya, Ibnu Uyainah menundukkan kepalanya.
Ketika beliau telah menegakkan kepalanya, beliau berkata, “Mungkin, dulu
engkau menikahinya karena ingin meningkatkan martabat dan kehormatan?”.
“Benar, wahai Abu Muhammad”, tegas orang tersebut. Ibnu Uyainah
berkata,
مَنْ ذَهَبَ إِلىَ العِزِّ اُبْتُلِيَ بِالذَّلِّ وَمَنْ
ذَهَبَ إِلَى الماَلِ اُبْتُلِيَ بِالفَقْرِ وَمَنْ ذَهَبَ إِلىَ الدِّيْنِ
يَجْمَعُ اللهُ لَهُ العِزَّ وَالماَلَ مَعَ الدِّيْنِ
“Siapa yang
menikah karena menginginkan kehormatan maka dia akan hina. Siapa yang
menikah karena cari harta maka dia akan menjadi miskin. Namun siapa yang
menikah karena agamanya maka akan Allah kumpulkan untuknya harta dan
kehormatan di samping agama”.
Kemudian beliau mulai bercerita,
“Kami adalah empat laki-laki bersaudara, Muhammad, Imron, Ibrahim dan
aku sendiri. Muhammad adalah kakak yang paling sulung sedangkan Imron
adalah bungsu. Sedangkan aku adalah tengah-tengah. Ketika Muhammad
hendak menikah, dia berorientasi pada kehormatan. Dia menikah dengan
perempuan yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dari pada
dirinya. Pada akhirnya dia jadi orang yang hina. Sedangkan Imron ketika
menikah berorientasi pada harta. Karenanya dia menikah dengan perempuan
yang hartanya lebih banyak dibandingkan dirinya. Ternyata, pada akhirnya
dia menjadi orang miskin. Keluarga istrinya merebut semua harta yang
dia miliki tanpa menyisakan untuknya sedikitpun. Maka aku penasaran,
ingin menyelidiki sebab terjadinya dua hal ini.
Tak disangka
suatu hari Ma’mar bin Rasyid datang. Kau lantas bermusyawarah dengannya.
Kuceritakan kepadanya kasus yang dialami oleh kedua saudaraku. Ma’mar
lantas menyampaikan hadits dari Yahya bin Ja’dah dan hadits Aisyah.
Hadits dari Yahya bin ja’dah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama,
martabat, harta dan kecantikannya. Pilihlah perempuan yang baik
agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi” (HR
Bukhari dan Muslim). Sedangkan hadits dari Aisyah adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Perempuan yang paling besar berkahnya
adalah yang paling ringan biaya pernikahannya” (HR Ahmad no 25162,
menurut Syeikh Syu’aib al Arnauth, sanadnya lemah).
Oleh karena
itu kuputuskan untuk menikah karena faktor agama dan agar beban lebih
ringan karena ingin mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Di luar dugaan Allah kumpulkan untukku kehormatan dan harta di
samping agama.[4]
Inilah kriteria wanita idaman yang patut
diperhatikan pertama kali –yaitu baiknya agama- sebelum kriteria
lainnya, sebelum kecantikan, martabat dan harta.
Kriteria Kedua: Selalu Menjaga Aurat
Kriteria
ini pun harus ada dan jadi pilihan. Namun sayangnya sebagian pria malah
menginginkan wanita yang buka-buka aurat dan seksi. Benarlah, laki-laki
yang jelek memang menginginkan wanita yang jelek pula.
Ingatlah,
sangat bahaya jika seorang wanita yang berpakaian namun telanjang
dijadikan pilihan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِنْفَانِ
مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ
الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ
مُمِيلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ
لاَ يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجِدْنَ رِيحَهَا وَإِنَّ رِيحَهَا
لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Ada dua golongan dari
penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1] Suatu kaum yang
memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia dan [2] para
wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok, kepala mereka
seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan masuk
surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium selama
perjalanan sekian dan sekian.”[5] Di antara makna wanita yang berpakaian
tetapi telanjang dalam hadits ini adalah:
1. Wanita yang
menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja menampakkan keindahan
tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang berpakaian tetapi telanjang.
2. Wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam
tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang.[6]
Sedangkan aurat wanita yang wajib ditutupi adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ
الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai
Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan
isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59). Jilbab bukanlah
penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh wanita
setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] : 31). Berdasarkan
tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan Mahkul Ad
Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua telapak
tangan.[7]
Kriteria Ketiga: Berbusana dengan Memenuhi Syarat Pakaian yang Syar’i
Wanita
yang menjadi idaman juga sepatutnya memenuhi beberapa kriteria
berbusana berikut ini yang kami sarikan dari berbagai dalil Al Qur’an
dan As Sunnah.
Syarat pertama: Menutupi seluruh tubuh (termasuk kaki) kecuali wajah dan telapak tangan.
Syarat kedua: Bukan memakai pakaian untuk berhias diri.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti
orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33). Abu ‘Ubaidah
mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az Zujaj
mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan setiap hal yang
dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[8]
Syarat ketiga: Longgar, tidak ketat dan tidak tipis sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.
Syarat
keempat: Tidak diberi wewangian atau parfum. Dari Abu Musa Al Asy’ary
bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Seorang
perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki
agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut
adalah seorang pelacur.”[9]
Dari Yahya bin Ja’dah, “Di masa
pemerintahan Umar bin Khatab ada seorang perempuan yang keluar rumah
dengan memakai wewangian. Di tengah jalan, Umar mencium bau harum dari
perempuan tersebut maka Umar pun memukulinya dengan tongkat. Setelah itu
beliau berkata,
تخرجن متطيبات فيجد الرجال ريحكن وإنما قلوب الرجال عند أنوفهم اخرجن تفلات
“Kalian,
para perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian sehingga para
laki-laki mencium bau harum kalian?! Sesungguhnya hati laki-laki itu
ditentukan oleh bau yang dicium oleh hidungnya. Keluarlah kalian dari
rumah dengan tidak memakai wewangian”[10].
Dari Ibrahim, Umar
(bin Khatab) memeriksa shaf shalat jamaah perempuan lalu beliau mencium
bau harum dari kepala seorang perempuan. Beliau lantas berkata,
لو أعلم أيتكن هي لفعلت ولفعلت لتطيب إحداكن لزوجها فإذا خرجت لبست أطمار وليدتها
“Seandainya
aku tahu siapa di antara kalian yang memakai wewangian niscaya aku akan
melakukan tindakan demikian dan demikian. Hendaklah kalian memakai
wewangian untuk suaminya. Jika keluar rumah hendaknya memakai kain jelek
yang biasa dipakai oleh budak perempuan”. Ibrahim mengatakan, “Aku
mendapatkan kabar bahwa perempuan yang memakai wewangian itu sampai
ngompol karena takut (dengan Umar)”[11].
Syarat kelima: Tidak menyerupai pakaian pria atau pakaian non muslim.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ
“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.”[12]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”.[13]
Inilah di antara beberapa syarat pakaian wanita yang harus dipenuhi. Inilah wanita yang pantas dijadikan kriteria.
Kriteria keempat: Betah Tinggal di Rumah
Di
antara yang diteladankan oleh para wanita salaf yang shalihah adalah
betah berada di rumah dan bersungguh-sungguh menghindari laki-laki serta
tidak keluar rumah kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Hal ini dengan
tujuan untuk menyelamatkan masyarakat dari godaan wanita yang merupakan
godaan terbesar bagi laki-laki.
Allah Ta’ala berfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan
tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian
berdandan sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu” (QS Al Ahzab: 33).
Ibnu
Katsir ketika menjelaskan ayat di atas mengatakan, “Hendaklah kalian
tinggal di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar rumah
kecuali karena ada kebutuhan”.[14]
Disebutkan bahwa ada orang
yang bertanya kepada Saudah -istri Rasulullah-, “Mengapa engkau tidak
berhaji dan berumrah sebagaimana yang dilakukan oleh saudari-saudarimu
(yaitu para istri Nabi yang lain, pent)?” Jawaban beliau, “Aku sudah
pernah berhaji dan berumrah, sedangkan Allah memerintahkan aku untuk
tinggal di dalam rumah”. Perawi mengatakan, “Demi Allah, beliau tidak
pernah keluar dari pintu rumahnya kecuali ketika jenazahnya dikeluarkan
untuk dimakamkan”. Sungguh moga Allah ridha kepadanya.
Ibnul
‘Arabi bercerita, “Aku sudah pernah memasuki lebih dari seribu
perkampungan namun aku tidak menjumpai perempuan yang lebih terhormat
dan terjaga melebihi perempuan di daerah Napolis, Palestina, tempat Nabi
Ibrahim dilempar ke dalam api. Selama aku tinggal di sana aku tidak
pernah melihat perempuan di jalan saat siang hari kecuali pada hari
Jumat. Pada hari itu para perempuan pergi ke masjid untuk ikut shalat
Jumat sampai masjid penuh dengan para perempuan. Begitu shalat Jumat
berakhir mereka segera pulang ke rumah mereka masing-masing dan aku
tidak melihat satupun perempuan hingga hari Jumat berikutnya”.[15]
Dari Abdullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الْمَرْأَةَ عَوْرَةٌ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا
اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ فَتَقُولُ: مَا رَآنِي أَحَدٌ إِلا
أَعْجَبْتُهُ، وَأَقْرَبُ مَا تَكُونُ إِلَى اللَّهِ إِذَا كَانَتْ فِي
قَعْرِ بَيْتِهَا"
“Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia
keluar rumah maka setan menyambutnya. Keadaan perempuan yang paling
dekat dengan wajah Allah adalah ketika dia berada di dalam
rumahnya”.[16]
Kriteria Kelima: Memiliki Sifat Malu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ لاَ يَأْتِى إِلاَّ بِخَيْرٍ
“Rasa malu tidaklah mendatangkan kecuali kebaikan.”[17]
Kriteria
ini juga semestinya ada pada wanita idaman. Contohnya adalah ketika
bergaul dengan pria. Wanita yang baik seharusnya memiliki sifat malu
yang sangat. Cobalah perhatikan contoh yang bagus dari wanita di zaman
Nabi Musa ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَمَّا وَرَدَ
مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ
مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا
لَا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ (23)
فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا
أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيرٌ (24)
“Dan tatkala ia
sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang
orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya).
Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" Kedua wanita
itu menjawab: "Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum
pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami
adalah orang tua yang telah lanjut umurnya". Maka Musa memberi minum
ternak itu untuk (menolong) keduanya.” (QS. Qashash: 23-24). Lihatlah
bagaimana bagusnya sifat kedua wanita ini, mereka malu berdesak-desakan
dengan kaum lelaki untuk meminumkan ternaknya. Namun coba bayangkan
dengan wanita di zaman sekarang ini!
Tidak cukup sampai di situ
kebagusan akhlaq kedua wanita tersebut. Lihatlah bagaimana sifat mereka
tatkala datang untuk memanggil Musa 'alaihis salaam; Alloh melanjutkan
firman-Nya,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
"Kemudian
datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan
penuh rasa malu, ia berkata, 'Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar
ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak)
kami.'" (QS. Al Qashash : 25)
Ayat yang mulia ini,menjelaskan
bagaimana seharusnya kaum wanita berakhlaq dan bersifat malu. Allah
menyifati gadis wanita yang mulia ini dengan cara jalannya yang penuh
dengan rasa malu dan terhormat.
Amirul Mukminin Umar bin
Khoththob rodiyallohu 'anhu mengatakan, "Gadis itu menemui Musa 'alaihis
salaam dengan pakaian yang tertutup rapat, menutupi wajahnya." Sanad
riwayat ini shahih.[18]
Kisah ini menunjukkan bahwa seharusnya
wanita selalu memiliki sifat malu ketika bergaul dengan lawan jenis,
ketika berbicara dengan mereka dan ketika berpakaian.
Demikianlah
kriteria wanita yang semestinya jadi idaman. Namun kriteria ini baru
sebagian saja. Akan tetapi, kriteria ini semestinya yang dijadikan
prioritas.
Intinya, jika seorang pria ingin mendapatkan wanita
idaman, itu semua kembali pada dirinya. Ingatlah: ”Wanita yang baik
untuk laki-laki yang baik”. Jadi, hendaklah seorang pria mengoreksi diri
pula, sudahkah dia menjadi pria idaman, niscaya wanita yang ia
idam-idamkan di atas insya Allah menjadi pendampingnya. Inilah kaedah
umum yang mesti diperhatikan.
Semoga Allah memudahkan kita untuk selalu mendapatkan keberkahan dalam hidup ini.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Diselesaikan -berkat nikmat Allah- di Pangukan-Sleman, 14 Shofar 1431 H
[1] HR. Muslim no. 2230, dari Shofiyah, dari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
[2] HR. Ahmad (2/492). Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[3] HR. Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1446, dari Abu Hurairah.
[4] Tahdzib al Kamal, 11/194-195, Asy Syamilah.
[5] HR. Muslim no. 2128, dari Abu Hurairah.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 17/190-191, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua.
[7] Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14.
[8] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 5/133, Mawqi’ Al Islam.
[9]
HR. An Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam
Shohihul Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[10] HR Abdurrazaq dalam al Mushannaf no 8107.
[11] Riwayat Abdur Razaq no 8118.
[12] HR. Bukhari no. 6834.
[13] HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus.
[14] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11/150.
[15] Tafsir al Qurthubi ketika menjelaskan al Ahzab:33.
[16] HR Ibnu Khuzaimah no. 1685. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[17] HR. Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37, dari ‘Imron bin Hushain.
[18] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/451.
February 17, 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
membacanya begetar jiwa nah
ReplyDelete